Premium ADs

www.smartlink.biz.id - Ada 158 guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) memberikan pernyataan resmi di lobi gedung Kampus FKUI Salemba, Jakarta, Jumat (16/5). Pernyataan ini terkait dengan kebijakan Kementerian Kesehatan mengusik pelaksanaan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Kelima poin yang ditekankan sang profesor adalah sebagai berikut: pertama, menjaga mutu dan standarisasi pendidikan dokter di dalam sistem akademik; kedua, memastikan bahwa semua pembentukan kebijakan mencakup partisipasi aktif dari lembaga-lembaga pendidikan kedokteran dengan cara yang transparan; ketiga, mewaspadai bahaya pengabaian keselamatan pasien serta ancaman bagi masa depan layanan kesehatan karena ambisi politik jangka pendek atau popularitas semata.

Para guru besar meminta menghentikan framing Buruk terkait dengan profesi dokter serta tenaga medis lantaran kuatir akan turunnya kepercayaan publik. Akhirnya, mereka menggarisbawahi signifikansi fungsi kolegium profesi kedokteran dan kedokteran spesialis sebagai institusi yang mandiri.

Dekan FKUI Prof dr Ari Fahrial Syam pada pidatonya mengungkapkan bahwa paling tidak terdapat 70 profesor yang turut serta dalam acara tersebut. Ia menjelaskan, FKUI telah menyiapkan sarana untuk para professor senior mereka, dan event ini pun sudah diberitahu sampai tingkat Kemenristekdikti.

Keinginan tersebut menurut Ari berawal saat pembentukan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 mengenai Kesehatan. Pada kesempatan itu, UU Kesehatan menerapkan sistim omnibus law "Setelah diperiksa ternyata terdapat beberapa aspek yang bertentangan dengan peraturan-peraturan serta PP (Peraturan Pemerintah, red), sehingga menghambat jalannya pendidikan kedokteran dan penyediaan layanan kesehatan," jelasnya.

Yang terkini ialah keputusan tidak adil dari Kementerian Kesehatan yang mengalihkan jabatan Dr. Piprim Basarah Yanuarso SpA, seorang dosen dan juga dokter di Fakultas Kedokteran UI. Saat ini beliau telah dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta.

Ari menyebutkan bahwa Piprim adalah seorang dokter anak dengan keahlian khusus dalam bidang kardiologi. Di FKUI, jumlah orang yang memiliki spesialisasi tertentu seperti ini sangat sedikit. "Jika secara mendadak perlu dipindahkan, maka akan ada pembengkakan pada seluruh rangkaian pendidikan serta layanan," katanya.

Walaupun masih berada di kota yang sama, Ari mengatakan bahwa proses pembelajaran bagi para mahasiswa bisa saja terpengaruh. "Di bidang pekerjaan ini (kedokteran), diajarkan langsung kepada pasien saat sedang melakukan praktek," tambahnya.

Piprim hanyalah salah satunya. Berdasarkan keterangan Ari, tujuh staf pengajar lainnya juga merupakan dokter yang dipindahkan ke posisi tersebut. Ari sempat bertukar pandangan langsung dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di awal ketika proses pemindaian tiba-tiba dilakukan. Saat itu, ungkapan Budi adalah 'pasangannya mudah', ujar Ari mengingatkan perkataan Budi bulan Desember tahun lalu. Ia cemas apabila nantinya akan terulangi situasi serupa dengan adanya pindahan mendadak lagi.

Berikutnya, ia mengkritisi pesimisme yang sering disampaikan oleh Kementerian Kesehatan tentang profesion dokter. Sebagai contoh adalah masalah perundungan serta biaya tinggi untuk menjadi seorang mahasiswa kedokteran. Ia menjelaskan bahwa salah satu alasan kenapa pendidikan dokter begitu mahal adalah kurang adanya subsidi pemerintah, sehingga institusi harus mendapatkan dana melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pelatihan medis membutuhkan praktek langsung dan ruangan di dalam labolatorium, hal tersebutlah yang mendorong biaya pendidikan ini meningkat.

Berikutnya tentang bullying, dia cemas dengan pendekatan yang dipilih oleh Kementerian Kesehatan. Sebagai contoh, kasus bullying di RSUP Kariadi akhirnya menyebabkan program anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ditutup secara sementara untuk praktek di rumah sakit tersebut. Ari mendapat informasi bahwa hal itu memiliki konsekuensi jangka panjang bagi para siswa. "Mereka yang berasal dari Jakarta pulang saja ke Jakarta. Jadi mereka ngangguran atau mungkin tidak melanjutkan studi," katanya. Dia menggunakan analogi bahwasannya untuk menangkap tikus tak harus membakar seluruh gudangan.

Memindahkan sarana layanan kesehatan yang berfungsi untuk pengajaran dan praktek bukanlah hal sederhana. Contohnya, para mahasiswa program studi anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang tadinya dapat belajar di Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi, tidak bisa langsung dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito. Hal ini disebabkan setiap lembaga pendidikan kedokteran telah menentukan rasio antara jumlah penyakit dengan mahasiswa kedokteran atau peserta didik yang akan melakukan praktek.

Profesor Dr Budi Wiweko SpOG selaku Ketua Senat Akademik Universitas Indonesia mengkritisi campur tangan Departemen Kesehatan dalam sistem pendidikan. Dia menekankan bahwa pembentukan dokter berkompeten sangat bergantung pada kollegium, rumah sakit pendidikan, serta fakultas. "Jika ada di antara komponen tersebut yang kurang efisien, maka hasil akhirnya pun tidak akan sempurna," katanya.

Pada pernyataan dari Guru Besar FKUI tersebut ditegaskan bahwa kemandirian dalam kollegium kedokteran perlu dipertahankan. Hal itu dilakukan agar standar keunggulan serta kemampuan para dokter dapat terjamin. Kollegium seharusnya tetap beroperasi tanpa campur tangan pihak lain. Menurut penilaian FKUI, metode memilih anggota kollegium justru mengabaikan peranan guru besar dan lebih cenderung pada sistem votting.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik di Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman, merespons pernyataan para profesor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dia menegaskan bahwa “Kemenkes menghargai kekhawatiran yang dinyatakan oleh para profesor FKUI sebagai bentuk hak ekspresi mereka. Kami ingin menyebutkan pula bahwa selama pembuatan berbagai kebijakan serta implementasi program-program kesehatan, Kemenkes sering kali melibatkan sejumlah dokter lulusan FKUI; bahkan beberapa kepala kolegium yang adalah alumninya pun rutin berkonsultasi dengan Kemenkes.” Katanya seperti itu.

Aji menyatakan bahwa kementeriannya membuka ruang dialog. Dia menyadari bahwa reformasi sistem kesehatan yang tengah berlangsung sejak diterbitkannya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dapat menimbulkan perdebatan maupun kesalahpahaman. “Perspektif dan kebijakan Kemenkes senantiasa berpijak pada kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan individu maupun organisasi tertentu,” katanya.

Dia juga menyebut kolegium saat ini justru lebih independen dibandingkan sebelumnya. “Sebelum UU 17/2023 tentang Kesehatan, kolegium berada di bawah organisasi profesi. Kini, kolegium menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” ujarnya. Aji menegaskan kolegium tidak berada di bawah Kemenkes.

"Kementerian Kesehatan sama sekali tidak berniat menciptakan dampak buruk terhadap profesisi dokter atau petugas kesehatan lainnya. Informasi yang diberikan sepanjang waktu ini dimaksudkan untuk menerangkan keadaan nyata di lapangan, lebih tepatnya berkaitan dengan proses pendidikan dokter spesialis," ucapnya. (Lyn)

Table of Contents [Close]
    Lebih baru Lebih lama
    X
    X
    X